TabloidWirausaha – Inspirasi Wirausaha Anada | setiap orang diwajibkan
berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, usaha yang di lakukan haruslah dari
jalan yang baik dan cara yang baik pula agar hasilnya menjadi berkah bagi diri
dan keluarga yang di nafkahinya. Islam mengajarkan sebuah konsep jual beli yang
mabrur atau perdagangan yang mabrur, artinya perdagangan yang selamat dari
segala bentuk kecurangan. perdagangan adalah salah satu mata pencaharian yang paling
baik, dengan catatan apabila selamat (terbebas) dari akad-akad yang diharamkan seperti
riba, ketidak jelasan, penipuan, penyamaran (menutup-nutupi cacat pada barang
dagangan) dan lain-lain yang termasuk dalam kategori memakan/mendapatkan harta
orang lain dengan batil.
Sebagaimana
sabda Rosulullah Shalallahu ‘alaihiwasallam :
عن رفاعة
بن رافع رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل أي الكسب أطيب؟ قال: يا قال
: عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور ،رواه البزار وصححه الحاكم
Dari
Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ditanya:”Apakah pekerjaan yang paling baik/afdhol?” Beliau menjawab:”Pekerjaan
seorang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan
setiap jual beli yang mabrur. (Hadits riwayat al-Bazzar dan dishahihkan oleh
al-Hakimrahimahumallah)
Jual Beli
Pengertian jual beli
Jual beli secara bahasa :
mengambil sesuatu dan memberi sesuatu yang lain.
Sedangkan secara istilah : tukar
menukar harta dengan tujuan kepemilikan.
Hukumnya
Jual beli hukumnya boleh
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan para ulama
tentang suatu hal).
Dalil dari Al-Quran adalah firman
Allah Ta’ala :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275).
Dalil dari Sunnah adalah sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا
Dua orang yg berjual beli
memiliki hak memilih selama mereka belum berpisah, atau merupakan jual beli dgn
syarat memiliki hak memilih (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalil dari Ijma’ adalah
kesepakatan kaum muslimin atas kebolehannya.
Hikmah dari kebolehannya
Syariat membolehkan jual beli
dikarenakan adanya maslahat (manfaat) yang besar, yang mana kehidupan manusia
tidak dapat berdiri tanpanya, sebab kebutuhan manusia berbeda-beda dan apa yang
mereka miliki tidak dapat memenuhi keinginan mereka, maka bergantung kebutuhan
setiap orang dengan apa yang ada pada orang lain dalam hal harta, dan tentu
saja mereka tidak menyerahkannya begitu saja tanpa transaksi, oleh karena itu,
dalam diperbolehkannya jual beli terdapat maslahat-maslahat demikian.
Rukun-rukun jual beli
Rukun-rukun transaksi jual beli
ada 3, yaitu :
1. 2 orang yang berakad, yaitu
penjual dan pembeli.
2. Yang
diakad atasnya, yaitu harga dan barangnya.
3. Ucapan
akad, yaitu apa yang dengannya menjadi sah jual beli, baik berupa ucapan atau
perbuatan yang menunjukkan keinginan untuk menjual atau membeli, dan akad ada 2
macam :
a. Akad
ucapan : disebut juga ijab qobul, ijab adalah perkataan penjual seperti : aku
menjual kepadamu baju ini dengan harga sekian, dan qobul adalah perkataan
pembeli seperti : aku membeli atau aku menerima.
b. Akad
perbuatan : disebut juga mu’athoh, misalnya engkau menyerahkan beberapa real
kepada tukang roti lalu ia menerimanya, kemudian ia menyerahkan roti kepadamu
lalu kamu menerimanya, kemudian kalian berpisah atau salah satu diantara kalian
pergi tanpa mengucapkan apapun.
Syarat-syarat jual beli
Tidak sah suatu jual beli hingga terpenuhi 7 syarat
yang mana jika salah satunya tertinggal, maka jual belinya batil, dan syarat-syarat
itu adalah :
1. Saling
ridho antara kedua belah pihak, maka jika seseorang memaksa orang lain untuk
menjual sesuatu atau terpaksa membeli sesuatu dan harus menyerahkan harganya
maka tidak sah jual belinya. Yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah
ta’ala :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (QS. An-Nisa : 29).
Dikecualikan darinya : pemaksaan dengan hak,
contohnya seseorang yang berhutang kepada manusia, kemudian hakim memaksanya
untuk menjual sesuatu yang ia miliki agar dapat membayar hutangnya, atau hakim
langsung menjual sebagian hartanya untuk menutupi hutangnya, maka jual beli ini
sah meski terdapat pemaksaan, karena paksaannya dengan hak.
2. Masing-masing dari penjual dan
pembeli adalah orang yang boleh menggunakan harta, dan yang boleh menggunakan
harta adalah seorang yang baligh, berakal dan pandai. Maka tidak sah jual beli
dengan anak kecil, orang gila atau orang yang tidak pandai mengurus harta
(boros). Yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala :
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي
جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan (QS. An-Nisa : 5).
Dan firman-Nya :
وَابْتَلُوا
الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya (QS. An-Nisa :
6).
Kecuali jika seorang anak kecil atau orang yang
bodoh menggunakan harta dengan izin dari walinya, dan ia menggunakannya untuk
sesuatu yang mudah, seperti membeli permen atau semacamnya.
3. Barang yang dijual dapat
dimanfaatkan, maka tidak boleh menjual apa yang terlarang untuk digunakan,
seperti minuman keras, sesuatu yang memabukkan, rokok, alat musik, peralatan
untuk video (yang diharamkan), dll. Yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam :
إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ
حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum
untuk memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan hasil penjualan barang itu
(HR. Abu Dawud).
4. Pelaku
jual beli adalah pemilik harta atau seseorang yang menduduki kedudukannya,
seperti wakilnya, pemerintah, dll. Adapun jika seseorang menggunakan harta yang
tidak dimilikinya dan tidak meminta izin saat menjualnya maka jual belinya
tidak sah kecuali jika telah dibolehkan oleh raja, dan perkara ini dalam
pandangan para ahli fiqh disebut : jual beli orang yang masuk urusan orang
(fudhul).
Dalil yang menunjukkan syarat ini adalah sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu
miliki (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
5. Barang
yang dijual mampu diserahkan, maka tidak sah menjual apa yang tidak dapat
diserahkan, seperti mobil yang hilang, unta yang lari, pena yang hilang, dll.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah radiyallahu
anhu, ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang
jual beli gharar (menimbulkan kerugian bagi orang lain) (HR. Muslim).
6. Barang
yang dijual diketahui dan jelas bagi penjual dan pembeli, maka tidak sah
menjual sesuatu yang tidak diketahui, seperti berkata : aku menjual kepadamu
apa yang ada di dalam kantong ini, sedangkan pembeli tidak tahu isinya. Dalil
yang menunjukkan hal ini adalah larangan Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang
jual beli gharar. Dan hilangnya ketidak-jelasan barang ini baik dengan melihat
secara keseluruhan, melihat sebagian yang menunjukkan keseluruhan (sampel),
mensifati dengan sifat yang jelas seolah dapat dilihat langsung, dsb yang dapat
menghilangkan ketidak-jelasan.
7. Harga
dari barang tersebut diketahui (jelas), maka tidak sah jual beli sesuatu
sebelum ditentukan harganya. Misalnya seorang pembeli berkata : aku membeli
darimu mobil ini dengan apa yang ada dalam cek ini dan penjual tidak tahu
berapa isinya. Atau berkata : aku membeli darimu jam tanganmu ini dengan apa
yang ada di dalam kantongku, dan penjual tidak tahu apa isi kantongnya. Dalil
yang menunjukkan hal ini adalah larangan Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang
jual beli gharar.
Wallahu A'lam.
NB : Artikel ini adalah terjemahan
dari kitab الفقه yang merupakan kitab pelajaran Fiqh kelas XI semester 1 di
Pesantren Ibnu Taimiyah.
Source Arikel :
http://aisyahassalafiyah.blogspot.com/2015/01/fiqh-muamalah-adab-perdagangan-dan-jual.html
Post a Comment